Tuesday, April 4, 2017

Konsumsi Premium Kian Menurun, Pertalite dan Pertamax Berangsur Naik




JAKARTA, Vice President Retail Fuel Marketing PT Pertamina (Persero) Afandi mengatakan, para pengguna bahan bakar minyak (BBM) jenis premium kini mulai beralih ke pertalite dan pertamax. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya konsumsi premium sejak 2014.
Di 2014 lalu, pangsa pasar premium masih berada di angka 85 persen, namun saat ini sudah menurun ke 44 persen.

"Posisi Maret 2017, premium 44 persen, pertamax 18 persen, pertalite 38 persen dari total konsumsi gasoline. Tadinya Premium 85 persen. Artinya, 28 persen konsumen premium pindah ke pertalite, dan ke pertamax 14 persen," kata Afandi di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (4/4/2017).

Adapun alasan beralihnya para pengguna premium, karena para pengguna kini mulai sadar kadar bahan bakar yang sesuai untuk kendaraannya. Selain penggunaannya yang lebih irit, tenaga yang dihasilkan pertalite dan pertamax jauh lebih besar dibandingkan premium.
"Energi yang ditimbulkan jauh lebih powerful dibandingkan premium. Dari sisi bahan bakar lebih hemat 10 persen," tutur Afandi.
Jika melihat sebaran wilayah penggunannya, Di Jawa, premium sudah tak lagi dominan, porsinya hanya 30 persen dari total konsumsi gasoline.

Namun, ada juga wilayah yang masih tergantung pada premium seperti Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa kawasan Indonesia Timur.
"Masyarakat yang sudah sadar dan perekonomiannya bagus banyak yang pindah. Terutama di Jawa. Di Jawa, premium tinggal 30 persen. Sementara Kalimantan, Sulawesi dan kawasan Indonesia Timur masih tergantung pada premium," pungkas Afandi.

Semenjak Tahun 1999, Harga Perkantoran Anjlok 30 Persen Di Jakarta




JAKARTA - Momentum kebangkitan sektor properti ternyata tidak terjadi pada awal tahun, atau kuartal II-2017, sebagaimana diprediksi banyak kalangan.
Bahkan Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, tidak berani memastikan kapan sektor yang melibatkan 177 industri ini bisa pulih.
Pasalnya, semua indikator yang selama ini mendorong sektor properti, belum menunjukkan pergerakan signifikan. 
"Pertumbuhan ekonomi kita masih di angka 5,1-5,2 persen. Itu belum cukup kuat mendorong pergerakan sektor properti. Tetapi, secara umum tahun ini jadi momentum yang tepat, meski tidak secepat yang diperkirakan," tutur Ferry kepada KompasProperti, Selasa (4/4/2017).
Dia menambahkan, butuh angka pertumbuhan ekonomi ideal untuk mengembalikan gairah sektor properti.
"Sekitar 7 persen hingga 8 persen. Kalau ini terjadi, sektor properti bisa kembali ke masa-masa 2011-2013. Untuk sekarang, dengan posisi 5 persen, masih butuh waktu 6 bulan untuk melihat pergerakan positif sektor properti," cetus Ferry.
Di sektor perkantoran sewa saja, kondisi kuartal I hingga II-2017 lebih buruk dibanding periode yang sama tahun lalu. 
Betapa tidak, tingkat serapan pra-komitmen ruang perkantoran sewa di Central Business District (CBD) Jakarta, hanya 79.581 meter persegi. Catatan ini menyisakan ruang yang belum terserap seluas 232.532 meter persegi. 
Sementara tahun lalu terserap 70.602 meter persegi, dan menyisakan 144.909 meter persegi. 
Demikian halnya dengan kondisi di luar CBD. Terdapat 134.384 meter persegi yang belum terserap hingga semester I-2017 dari total 140.384 meter persegi ruang kantor yang masuk pasar. Ini artinya ruang tersewa hanya 6.000 meter persegi.

Sedangkan tahun lalu, ruang kantor yang terserap masih di atas 30.000 meter persegi, atau tepatnya 30.155 meter persegi. Menyisakan 62.024 meter persegi ruang belum tersewa.
Bagaimana dengan perkantoran strata title?
Kendati ruang kantor strata title di CBD Jakarta yang terserap terhitung tinggi yakni seluas 283.734 meter persegi dan menyisakan 135.326 meter persegi hingga kuartal II-2017, namun tingkat hunian justru makin turun. Tahun lalu seluas 100.000 yang tersewa.
Hal serupa juga terjadi di luar CBD, ruang kantor yang tersewa seluas 107.455 meter persegi, menyisakan 40.845 yang belum terserap. 
Performa penjualan ini lebih baik ketimbang catatan 2016, saat 96.048 meter persegi tersewa dan tersisa 70.649 meter persegi.
Tak mengherankan jika Senior Associate Director Office Service Colliers International Indonesia Sutrisno R Soetarmo menyatakan kondisi tahun ini terburuk sejak Presiden Soeharto lengser.
"Ini lebih buruk sejak tahun 1999, setahun setelah Soeharto turun tahta," imbuh Sutrisno.

Harga terkoreksi
Kondisi kelebihan pasokan (over supply) tersebut tentu saja memengaruhi harga sewa penawaran atau asking price, dan tingkat okupansi.
Sutrisno mengungkapkan, harga sewa penawaran rata-rata terkoreksi 30 persen.
"Betul-betul terburuk sepanjang sejarah. Ini terjadi di CBD dan non-CBD Jakarta untuk seluruh ruang perkantoran lama, dan baru," ucap Sutrisno.

Dia mencontohkan, ruang perkantoran baru di bilangan Rasuna Said, Gatot Subroto, dan Sudirman. 
Harga sewa penawaran Rp 250.000 meter per segi per bulan, bisa jatuh menjadi hanya Rp 125.000 per meter persegi per bulan.
Fenomena ini menjadikan tingkat okupansi perkantoran di CBD dan non-CBD Jakarta menjadi di bawah 85 persen.
Ada pun profil perusahaan yang menyerap ruang-ruang kantor sewa dan strata title sepanjang kuartal I dan II tahun ini adalah perusahaan perdagangan daring atau e-commerce, konsultan perpajakan, sektor keuangan, dan asuransi.

Perang tarif

Sutrisno juga membeberkan fakta, kondisi lebih parah terjadi pada ruang perkantoran strata title yang dimiliki investor.
"Sudah terjadi perang tarif pada perkantoran strata title yang disewakan kembali. Harga sewanya juga anjlok 30 persen," kata dia.
Alasan para investor melakukan banting harga adalah pertama agar tidak kehilangan aset. Kedua, para investor lebih memilih untuk mendapatkan income atau pendapatan ketimbang harus membayar service charge
"Biaya sewa dari tenant digulirkan kembali oleh investor untuk membayar service charge kepada pengembang," tambah dia.
Jadi, kata Sutrisno, meskipun 2016 merupakan titik nadir (bottom) sektor properti, namun 2017 adalah saat paling berat untuk bangkit kembali.

DPD Buat Tatib Baru Lagi Untuk Kepemimpinan Oesman Sapta

JAKARTADewan Perwakilan Daerah (DPD) memberlakukan tata tertib baru, menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017.
Tatib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 mengatur masa jabatan Pimpinan DPD yang berlaku selama 2,5 tahun.
Melalui sidang paripurna, Senin (4/4/2017), DPD kembali mengeluarkan perubahan aturan melalui Tata Tertib Nomor 3 Tahun 2017. Sidang Paripurna dimulai pukul 15.00 WIB dan hanya dihadiri sekitar 50 anggota DPD dari total 132 anggota.
Selesai mengesahkan tata tertib baru, kemudian mereka melakukan aklamasi ulang untuk menunjuk Pimpinan Baru. Hasilnya pun sama seperti paripurna tadi malam.
Oesman Sapta Odang menjadi Ketua DPD serta Nono Sampono dan Darmayanti Lubis selaku Wakil Ketua DPD.



Ketua Badan Kehormatan (BK) AM Fatwa mengatakan, pemilihan diulang karena muncul tata tertib yang baru sehingga proses pemilihanpPimpinan yang baru tidak bertentangan dengan putusan MA.
Sementara saat ditanya status pemilihan yang telah berlangsung dini hari tadi dengan menggunakan tata tertib yang dibatalkan MA, ia berdalih bahwa proses pemilihan dini hari tadi merupakan rapat wilayah untuk menentukan calon yang akan diaklamasikan sore tadi.
Oleh karena itu, pemilihan yang sebenarnya baru berlangsung saat Sidang Paripurna sore tadi.
"Dengan adanya tata tertib yang menyesuaikan putusan MA ini maka masa jabatan Pimpinan DPD yang baru ini kembali menjadi lima tahun," ujar Pimpinan Sidang Paripurna AM.


Fatwa menyatakan, dengan menerbitkan tata tertib baru tersebut, maka pemilihan yang berlangsung sore tadi juga sah secara hukum karena tidak melanggar putusan MA. Hal ini karena masa jabatan Pimpinan DPD yang baru saat ini berlangsung lima tahun.
Ketika ditanya kembali soal putusan MA yang keluar sebelum berlangsungnya pemilihan Pimpinan DPD sore tadi dan bersifat mengikat, ia bergeming dan tetap menganggap pemilihan Pimpinan telah berlangsung secara sah dan tidak melanggar hukum.
Ia juga tak mempermasalahkan jumlah peserta sidang paripurna yang hanya dihadiri sekitar 50 anggota DPD tersebut. Sebab pemilihan yang dilakukan berdasarkan aklamasi tidak membutuhkan syarat kuorum.
Sebelumnya, DPD mengadakan pemilihan Pimpinan DPD, Selasa (4/4/2017) dini hari dengan berlandaskan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017 yang telah dibatalkan oleh MA.

Dengan demikian dilangsungkannya pemilihan Pimpinan DPD dinilai melanggar putusan MA. Dengan keluarya putusan MA tersebut, DPD wajib membatalkan segala bentuk pemilihan Pimpinan. Putusan MA itu juga menegaskan bahwa masa jabatan pimpinan DPD adalah lima tahun.